Supply Chain Risk

Oleh: Dr. Zaroni, CISCP., CFMP.
Head of Consulting Division | Supply Chain Indonesia

Setiap hari kita bersentuhan dengan risiko. Sederhananya, risiko merupakan peristiwa “tidak mengenakkan” yang mungkin terjadi di masa depan. Tidak ada yang bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Sesuatu bisa terjadi. Bisa mengenakkan atau tidak mengenakkan. Bisa menguntungkan atau merugikan. Bisa sesuai harapan atau tidak sesuai harapan. Bisa sesuai yang direncanakan atau jauh dari yang direncanakan.
Karena masa depan tidak pasti, maka potensi risiko pun selalu ada. Ada risiko kehilangan uang atas investasi yang kita pilih, risiko keterlambatan keberangkatan dan kedatangan kereta api, risiko keterlambatan pengiriman barang, risiko berhentinya proses produksi, dan banyak peristiwa lain yang menimbulkan risiko.
Peristiwa yang akan terjadi di masa depan tidak ada yang bisa mengetahui pasti. Apa yang akan terjadi, kapan, dan di mana semuanya tidak ada yang tahu persis. Kita hanya bisa memprediksi, meramal, memperkirakan, dan mengestimasi. Tidak ada yang bisa menjamin pasti.
Risiko adalah dampak. Hasil yang disebabkan oleh peristiwa. Pengembangan produk baru bisa berisiko. Risiko produk tidak sesuai dengan standar atau spesifikasi. Risiko produk tidak laku. Proyek yang dijalankan bisa tidak sesuai yang direncanakan. Di sini ada risiko proyek gagal.
Dalam bisnis, kemungkinan banyak menghadapi bermacam-macam risiko, seperti risiko kenaikan harga bahan, risiko kenaikan suku bunga, risiko kerusakan mesin produksi, dan lain-lain. Dalam perspektif supply chain risiko bisa terjadi di sepanjang rantai pasokan mulai dari aliran bahan baku yang dipasok dari supplier, keterlambatan pengangkutan bahan, tertunda dan terhentinya proses produksi, kerusakan produk jadi, kesalahan proses order pembelian, dan kekeliruan pengantaran produk.
Banyak peristiwa bisa terjadi dengan berbagai peluang. Dampak dari peristiwa terhadap kinerja supply chain ini yang kita takar untuk menentukan risiko supply chain. Manajemen rantai pasokan atau supply chain management mengelola aliran barang atau material dari hulu (upstream) ke hilir (downstream). Aliran material dari pemasok ke pelanggan.
Pengertian material ini mencakup tidak hanya material yang berwujud (tangible), namun juga mencakup material tidak berwujud (intangible). Oleh karena itu, cakupan pengertian material dalam supply chain management ini sangat luas. Ia meliputi bahan baku (raw material), barang dalam proses (work-in process), produk jadi (finished goods), komponen (parts), orang (people), kertas, informasi, pesan, pengetahuan, energi, uang, atau apa pun yang “bergerak”, berpindah, di setiap titik serangkaian proses rantai pasokan dalam organisasi (Waters, 2007).
Setiap organisasi perlu menggerakan material. Manajemen logistik sebagai bagian dari supply chain management. Ia bertanggung jawab atas pergerakan material. Harrington (1996) meringkas peran pokok fungsi logistik dan supply chain dalam organisasi mencakup aktivitas sebagai berikut: desain supply chainprocurement atau pembelian, inbound transport, penerimaan (receiving), pergudangan (warehousing) atau penyimpanan (stores), pengendalian persediaan (stock control), material handlingorder pickingoutbound transport, distribusi, recycingreturnswaste disposal, dan komunikasi.
Peran logistik sangat penting dalam setiap organisasi. Tanpa logistik, tidak akan ada perpindahan material, tidak ada manajemen operasi, tidak ada produk, tidak ada pelayanan pelanggan, tidak ada penjualan, dan tidak ada profit.
Logistik juga mahal. Seberapa mahalnya logistik? Tidak ada yang dapat menyajikan angka pasti. Aktivitas logistik menimbulkan biaya, seperti biaya pengadaan barang, biaya transportasi, biaya penyimpanan, biaya distribusi, biaya pengelolaan inventory, dan lain-lain. Biaya-biaya tersebut merupakan contoh biaya logistik. Secara agregat, biaya logistik sering diukur dalam persentasi terhadap GDP. Antarnegara persentase biaya logistik terhadap GDP bervariasi. Rentangnya berkisar 11% sampai 32%. Indonesia sendiri, secara agregat biaya logistiknya tidak kurang dari 24% dari GDP. Selain mahal, aktivitas logistik juga berisiko karena logistik sangat berhubungan dengan isu keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan.
Di era kolaborasi dan globalisasi banyak pihak yang terlibat dalam supply chain. Kinerja supply chain ditentukan oleh kinerja antarpihak yang berkontribusi di sepanjang proses supply chain. Suatu peristiwa yang mungkin kecil dan jauh dari pusat kegiatan produksi bisa saja memengaruhi secara signifikan terhadap kinerja supply chain.
Peristiwa yang terjadi pada Ericson bisa menjadi pelajaran. Pada tanggal 17 Maret 2000, halilintar menggelegar di langit New Mexico dan mengakibatkan kebakaran karena korsleting listrik. Salah satunya kebakaran pabrik Phillips di Albuquerque yang memproduksi chip untuk Ericson. Sistem pemadaman automatis aktif begitu terdeteksi adanya kebakaran sehingga tidak mengakibatkan kebakaran yang meluas. Sayangnya, semprotan air dari pemadam automatis dan asap meyebabkan chip terkontaminasi. Ribuan chip yang siap dikirim ke Ericson pun dibatalkan karena chip rusak.
Ericson berada di Swedia, jaraknya 8.307 kilometer dari Albuquerque di New Mexico. Peristiwa kebakaran pabrik chip di Albuquerque, berakibat terkontaminasinya chip untuk pasokan produk Ericson. Dampaknya, kerugian pun cukup signifikan. Produksi terhenti untuk beberapa hari. Produk dalam proses tidak bisa diselesaikan menjadi finished goods karena tiadanya chipOrderpembelian dari pelanggan tidak bisa dipenuhi. Terhentinya pasokan chip berakibat kerugian Ericson yang hanya memiliki pemasok tunggal untuk komponen chip dari Phillips di Albuquerque. Sayangnya, proses perbaikan pabrik Phillips memakan waktu hampir satu tahun. Praktis Ericson pun menghentikan proses produksinya selama satu tahun sehingga kerugian pun semakin besar.
Kejadian dalam suatu peristiwa kadang dalam kendali internal manajemen, namun sesungguhnya banyak peristiwa yang diluar kendali internal manajemen. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, badai, angin topan, banjir, cuaca ekstrim, gagal panen, dan lain-lain adalah beberapa contoh peristiwa yang di luar kendali internal manajemen. Selain bencana alam, kegagalan proses dan kinerja pihak lain dalam jaringan supply chain produk perusahaan pun bisa berdampak pada kerugian perusahaan.

Pentingya mengelola risiko
Praktik pengelolaan risiko sesungguhnya bukanlah hal baru. Pengelolaan risiko telah lama diterapkan. Premi asuransi merupakan contoh pengelolaan risiko. Selain itu, pengenaan bunga pada pinjaman merupakan contoh manajemen risiko. Baik premi asuransi dan bunga pinjaman merupakan bentuk pengambilan risiko (risk taking) yang dilakukan perusahaan asuransi dan perbankan dalam mengelola risiko.
Tentang pentingnya pengelolaan risiko, Handy (1999) mengatakan: “Pengelolaan risiko tidak dapat dipisahkan dari manajemen, karena sesungguhnya risiko merupakan bagian dari manajemen itu sendiri”, demikian Handy mengingatkan.
Dalam sektor bisnis, kesadaran pengelolaan risiko semakin meningkat. Semula para pemimpin bisnis kurang begitu memerhatikan dampak risiko. Risiko bencana alam, seperti gempa, tsunami, erupsi gunung, dan lain-lain, pun diabaikan. Umumnya, mereka menganggap peristiwa bencana alam sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, perencanaan penanggulangan bencana seringkali hanya dipandang sebagai tugas pemerintah. Manakala peristiwa bencana alam terjadi, dampak kerusakan dan kerugian bisnis sungguh tak terperi.
Kini kesadaran dan pengelolaan risiko di sektor bisnis semakin membaik. Bahkan, pengelolaan risiko di banyak sektor bisnis menjadi bagian penting dari pengelolaan tata kelola perusahaan (corporate governance).
Praktik-praktik pengelolaan perusahaan yang baik, atau sering kita kenal dengan GCG (good corporate governance) mensyaratkan pengelolaan dan prosedur risiko melalui pendekatan formal dalam organisasi. Setidaknya GCG untuk (Sarbanes-Oaxley Act, 2002):

  • melindungi kepentingan pemegang saham;
  • memastikan para manajer senior menempati peran secara tepat dalam manajemen risiko;
  • menjaga kelangsungan operasi organisasi melalui pengembangan sistem manajemen risiko yang tepat;
  • menggunakan prosedur formal untuk mengidentifikasi dan menganalisis ancaman dari risiko;
  • memiliki proses yang mampu menghadapi berbagai peristiwa yang berisiko dan mitigasinya;
  • memonitor, menilai, dan mengendalikan risiko secara menyeluruh;
  • memastikan kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan.

Dalam konteks supply chain, risiko dapat muncul dalam berbagai peristiwa. Sepanjang proses aliran material, produksi, dan produk jadi, risiko bisa muncul. Risiko tersebut dapat mengganggu atau mendisrupsi aliran barang, informasi, dan keuangan yang memengaruhi kinerja supply chain.
Risiko supply chain berupa keterlambatan delivery, kerusakan barang, atau apa pun yang memengaruhi kelancaran operasional. Pada dasarnya, risiko supply chain berasal dari internal dan eksternal. Risiko dari internal seperti keterlambatan pengangkutan, keterlambatan pengantaran barang, kelebihan stok, peramalan yang buruk, risiko keuangan, kecelakaan minor, human error, kegagalan sistem ICT, dan lain-lain. Sementara risiko eksternal, umumnya berasal dari luar supply chain, seperti gempa bumi, angin topan, serangan teroris, perang, bencana penyakit, kenaikan harga, permasalahan yang dihadapi mitra usaha, kekurangan pasokan bahan baku, krisis keuangan dan ekonomi makro, dan lain-lain.
Minahan (2005) melaporkan hasil penelitiannya mengenai risiko disrupsi dalam supply chain. 82% dari manajer yang disurvei mengatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir mengalami disrupsi dalam supply chain:

  • kerusakan barang dalam proses pengiriman 50%;
  • keterlambatan pengiriman 49%;
  • peningkatan biaya logistik 47%;
  • lead time yang lebih lama 33%;
  • kendala kapasitas 32%.

Perkembangan tren logistik dan supply chain berdampak pada peningkatan kerentanan (vulnerabilitysupply chain. Juttner (2005) menemukan faktor-faktor yang memengaruhi kerentanan supply chain, yaitu: globalisasi (52% dari manajer yang disurvei), penurunan tingkat stok (51%), pengurangan pemasok (38%), dan outsourcing (30%).
Walters (2007) mengidentifikasi beberapa isu logistik dan supply chain dalam dekade terakhir yang memengaruhi risiko supply chain: integrasi supply chainagile logisticscost reduction, e-dagang, globalisasi, outsourcing, dan perubahan praktik-praktik logistik dalam organisasi.
Integrasi supply chain memberikan banyak manfaat bagi organisasi, namun integrasi supply chain juga menimbulkan risiko. Ketergantungan dengan sedikit mitra usaha dan pemasok tunggal, merupakan salah satu risiko integrasi supply chain. Strategi agile logistics memang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan tetapi berisiko. Terutama risiko keuangan, peningkatan biaya operasional untuk merespon fleksibilitas layanan pelanggan, dan kinerja operasional. Sementara strategi cost reduction, memangkas aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dalam proses supply chain. Strategi cost reduction berisiko, terutama ketika organisasi menghadapi peristiwa yang tidak diharapkan.
E-dagang dan globalisasi dapat meningkatkan pertumbuhan bisnis perusahaan, namun berisiko karena pertimbangan jarak, lokasi, dan perbedaan regulasi dan budaya. Outsourcing mampu meningkatkan kinerja perusahaan. Selain itu, outsourcing memungkinkan perusahaan lebih fokus pada kompetensi dan layanan pelanggan. Outsourcing juga berisiko karena kehilangan kendali atas pengelolaan aktivitas atau proses bisnis.
Praktik-praktik logistik di perusahaan terus berubah. Kepedulian terhadap lingkungan, seperti pengelolaan limbah dan jejak karbon, mendorong perubahan praktik-praktik logistik. Selain itu, perubahan strategi proses manufaktur, seperti JIT menyebabkan lead time semakin pendek. Cross-docking, pengiriman material dalam ukuran kecil, pengiriman langsung (direct delivery), dan peningkatan utilisasi kendaraan merupakan beberapa praktik-praktik logistik yang kini banyak dilakukan perusahaan.
Perubahan praktik-praktik logistik, selain memberikan manfaat bagi organisasi, terutama pengurangan biaya dan peningkatan kinerja logistik, juga menyisakan persoalan potensi risiko supply chain. Manajer logistik dan supply chain perlu mengelola risiko supply chain melalui pendekatan Supply Chain Risk Management (SCRM).

Pendekatan SCRM menempatkan pengelolaan risiko supply chain secara terintegrasi, mulai dari perencanaan strategi pengelolaan risiko, tujuan, sasaran, kebijakan, nilai-nilai dan budaya sadar risiko, tindakan, serta prosedur pengelolaan risiko. SCRM melibatkan semua fungsi dan hirarki dalam organisasi.

SCRM dimulai dari perumusan strategi pengelolaan risiko supply chainOutput-nya adalah kebijakan risiko (risk policy) atau sering dinamai juga risk strategic plan dan risk management plan atau penamaan yang serupa.

Risk strategic plan berisi strategi pengelolaan risiko secara garis besar. Biasanya mencakup sebagai berikut:

  • pernyataan siapa yang bertanggung jawab terhadap risiko supply chain, peran komite risiko, dan anggota komite risiko;
  • ringkasan kebijakan pengelolaan risiko dan lingkup pengelolaan risiko supply chain;
  • prosedur, sistem, dan teknik untuk menganalisis dan mengidentifikasi dampak risiko terhadap kinerja logistik dan supply chain;
  • prosedur, sistem, dan teknik dalam merespon risiko dan pemilihan respon risiko yang paling tepat;
  • kebijakan dalam pengalokasian dan sharing risiko antarpemangku kepentingan;
  • metode untuk monitoring risiko, pengkomunikasian, dan pengukuran risiko.

Umumnya perusahaan menempatkan seorang manajer yang khusus mengelola risiko supply chain (Saunders-Brody, 2007):

  • memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk memimpin pengelolaan risiko;
  • bekerja secara independen dengan para stakeholder baik internal maupun eksternal untuk memahami kebutuhan dan pentingnya pengelolaan risiko supply chain;
  • menyusun kebijakan risiko dan memastikan pengelolaan risiko dilaksanakan secara efektif;
  • menyampaikan analisis dan mitigasi risiko secara akurat dengan informasi yang relevan dan tepat waktu;
  • memastikan pengelolaan risiko sebagai bagian dari budaya perusahaan;
  • memastikan risiko menjadi pertimbangan penting dalam setiap pengambilan keputusan manajemen.

Pendekatan pengelolaan risiko supply chain dalam banyak organisasi menggunakan top-down. Dalam pendekatan ini, pengelolaan risiko dimulai dari top management, seperti dewan direksi dan para senior manager yang bekerja dalam komite risiko supply chain. Penyusunan strategi risiko, kebijakan, tujuan, dan sasaran risiko merupakan beberapa output dari komite risiko.

Pendekatan top-down dalam pengelolaan risiko memiliki kelemahan. Dalam banyak organisasi, umumnya manajer logistik atau manajer supply chain berada di tingkat menengah. Tidak banyak organisasi yang menempatkan manajer logistik pada posisi top management. Implikasinya, keputusan strategik perusahaan kurang mempertimbangkan aspek risiko.

Pendekatan bottom-up melibatkan staf tingkat operasional. Umumnya, staf operasional sering berhadapan dengan risiko. Staf operasional memiliki pemahaman yang baik mengenai penyebab risiko, sehingga perbaikan dan pemulihan risiko supply chain cepat dilakukan. Sebagai contoh, keterlambatan delivery yang memengaruhi kinerja supply chain, kita bisa menanyakan ke para sopir: berapa lama rata-rata keterlambatan? rute delivery mana yang sering mengalami keterlambatan? apa penyebab keterlambatan? dari para sopir, kita mendapatkan jawaban lebih lengkap dan akurat mengenai permasalahan keterlambatan delivery. Identifikasi dan perbaikan pengelolaan risiko supply chain pun segera bisa dilakukan.

Kedua pendekatan sebaiknya diterapkan. Pendekatan top-down penting untuk memastikan pengelolaan risiko supply chain menjadi strategi organisasi. Sementara pendekatan bottom-up agar pengelolaan risiko supply chain dapat menjadi budaya setiap anggota organisasi. Pada praktik pengelolaan risiko, kedua pendekatan diperlukan untuk pemahaman risiko secara menyeluruh, mulai dari perencanaan, identifikasi, mitigasi, dan respon terhadap risiko supply chain.

SCRM memberikan panduan dalam pengelolaan risiko supply chain. Ada tiga elemen penting dalam pengelolaan risiko menggunakan SCRM:

  1. mengidentifikasi risiko supply chain;
  2. analisis risiko;
  3. merancang respon risiko.

Langkah pertama dalam pengelolaan risiko adalah mengidentifikasi risiko supply chain. Inti dari pengelolaan risiko sejatinya adalah identifikasi risiko. Oleh karena itu, para manajer perlu memiliki pemahaman yang baik mengenai identifikasi risiko dan penyebab utama terjadinya risiko. Klasifikasi jenis risiko supply chain didasarkan pada pengaruh risiko terhadap tiga komponen penting dalam aliran supply chain, yaitu: material, uang, dan informasi:

  • Physical risks. Risiko fisik biasanya berhubungan dengan aliran pergerakan dan penyimpanan material, termasuk di dalamnya adalah risiko transportasi, penyimpanan, delivery, pergerakan material, sistem inventory, dan lain-lain. Contoh risiko fisik umumnya berupa keterlambatan pengiriman, gangguan transportasi, kerusakan material, kekurangan persediaan material, kehilangan material, kecelakaan, dan lain-lain;
  • Financial risks. Termasuk dalam risiko ini adalah risiko pembayaran, risiko arus kas, risiko investasi, risiko utang, risiko sistem akuntansi, dan lain-lain. Risiko-risiko tersebut erat kaitannya dengan aliran uang dalam supply chain. Contoh risiko finansial berupa tingkat pengembalian investasi yang sangat buruk, realisasi biaya melebihi anggaran, tagihan yang tidak dibayar, kekurangan kas (cash shortage), dan lain-lain;
  • Information risks. Risiko informasi terkait dengan aliran informasi dalam supply chain, yaitu pengumpulan data, transfer data, integritas data, pengolahan informasi, market intelligence, kegagalan sistem, dan lain-lain. Risiko informasi biasanya muncul berupa kehilangan data, kekeliruan informasi, pembobolan sistem keamanan data, kekeliruan proses transaksi, dan lain-lain;
  • Organizational risks. Risiko ini muncul bila ada hambatan, gangguan, dan koordinasi antarpihak dalam supply chain. Kehilangan pelanggan, hambatan komunukasi, permasalahan pelanggan, pelanggaran kesepakatan kontrak, dispute dalam kontrak, dan lain-lain.

Survei yang dilakukan oleh Accenture tahun 2006 menemukan secara empiris risiko supply chainsebagaimana ditulis oleh Malone sebagai berikut:

  • guncangan pasokan bahan baku (50% responden);
  • keterlambatan proses pelalubeaan impor (36% responden);
  • lead time produksi yang lama (36% responden);
  • ketidakstabilan politik (35% responden);
  • kekurangan tenaga kerja terampil (35% responden);
  • pembajakan kargo (30% responden).

Richmond & Associates (2007) menyajikan hasil survei mengenai risiko supply chain yang sering dihadapi oleh para manajer supply chain di EU sebagai berikut:

  • hilangnya sistem informasi;
  • hambatan regulasi pemerintah;
  • fluktuasi mata uang; kebakaran;
  • cuaca ekstrim, banjir dan bencana alam lainnya;
  • aksi pekerja;
  • masalah keamanan produk, masalah kesehatan dan keselamatan;
  • kehilangan pemasok, ketergantungan pasokan dari satu sumber, ketidakandalan pemasok;
  • peramalan permintaan yang tidak akurat;
  • kekurangan bahan-bahan utama;
  • perampingan operasional;
  • rantai pasokan yang panjang, penundaan;
  • fleksibilitas yang kurang, masalah kapasitas;
  • kemacetan lalu lintas;
  • kekurangan karyawan kunci;
  • kegagalan penggunaan peralatan;
  • kerusuhan politik atau peperangan, dan terorisme.

Para manajer supply chain perlu memahami prosedur identifikasi risiko supply chain. Beberapa teknik untuk mengidentifikasi risiko supply chain dari catatan peristiwa masa lalu yang berdampak pada risiko dapat digunakan.

  1. Five whys”. Teknik ini digunakan untuk mencari akar penyebab terjadinya risiko. Dengan mengajukan pertanyaan setidaknya sampai lima kali, maka penyebab utama terjadinya risiko dapat diidentifikasi. Dengan diidentifikasi penyebab utama permasalahan, solusi permasalahan pun lebih tepat.
  2. Causes-and-effect diagrams”. Sering dikenal dengan diagram tulang ikan atau diagram Ishikawa. Pertama kali dikenalkan oleh Ishikawa. Diagram ini membantu anda mengidentifikasi penyebab risiko, dari berbagai penyebab seperti: pekerja, peralatan, sistem, teknologi, modal, infrastruktur jalan, dan lain-lain.
  3. Pareto analysis. Prinsip “80%-20%”. Dari prinsip ini, umumnya peristiwa atau aktivitas 20% akan berdampak pada risiko 80% organisasi. 80% risiko karena 20% penyebab risiko. Kita perlu identifikasi aktivitas atau peristiwa itu. Selanjutnya, kita fokus untuk merespons risikonya.
  4. Process charts. Metode ini mengidentifikasi risiko dari proses atau detail tahapan aktivitas yang berbeda. Setiap proses diidentifikasi aktivitasnya, jarak, waktu yang diperlukan, dan potensi hambatannya.
  5. Process control. Teknik ini untuk mengendalikan kualitas setiap proses atau aktivitas dari kinerja supply chain. Penetapan batas toleransi atas dan bawah atas variabilitas kinerja supply chain.

Umumnya metode pengumpulan data dan informasi mengenai risiko, penyebab terjadinya risiko, dan dampak risiko terhadap kinerja supply chain sebagai berikut: wawancara, focus group discussion, dan metode Delphi.

Setelah potensi risiko supply chain berhasil diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah analisis risiko. Risiko yang telah diidentifikasi perlu dianalisis. Analisis risiko ini mencakup aktivitas:

  1. mengukur risiko;
  2. menentukan tingkat probabilitas peristiwa risiko;
  3. menentukan konsekuensi risiko.

Risiko perlu diukur dengan baik. Ada dua pendekatan dalam mengukur risiko, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Kedua pendekatan tersebut saling melangkapi. Pendekatan kualitatif diperlukan untuk memberikan “kedalaman analisis” dalam mendeskripsikan risiko, penyebab risiko, peluang terjadinya peristiwa, dan konsekuensi risiko terhadap kinerja supply chain.

Analisis risiko dengan menggunakan pendekatan kualitatif, setidaknya memberikan deskripsi kualitatif atas suatu risiko:

  • karakteristik risiko – dengan penjelasan kualitatif mengenai risiko;
  • konsekuensi risiko – dengan pandangan kualitatif mengenai potensi kerugian dan keuntungan terhadap kinerja supply chain dan organisasi secara keseluruhan;
  • peluang terjadinya peristiwa risiko – memberikan pandangan secara subjektif peluang peristiwa risiko dan tingkat materialitas risiko;
  • lingkup risiko – area atau cakupan yang diperkirakan akan dipengaruhi risiko, seperti material, delivery, biaya, layanan, dan lain-lain;
  • penanggung jawab risiko dan bagaimana pengendalian risiko dilakukan;
  • stakeholders – para pihak, orang-orang yang diperkirakan terdampak risiko, dan harapan atau aspirasi mereka terhadap pengelolaan risiko;
  • sasaran – apa sasaran pengelolaan risiko yang akan dicapai?;
  • keterkaitan risiko lainnya dan perubahan operasi – yang mungkin akan dilakukan untuk mitigasi dampak risiko;
  • metode dan teknik pengelolaan risiko yang saat ini digunakan, tingkat keberhasilan, dan saran perbaikan, dan kebijakan baru yang telah dikembangkan.

Ada beberapa teknik pengukuran risiko dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Namun, inti dari pengukuran risiko secara kuantitatif adalah: (1) penghitungan tingkat probabilitas terjadinya peristiwa, dan (2) implikasi peristiwa terhadap risiko supply chain.

Kedua dimensi pengukuran risiko secara kuantitatif tersebut, dalam statistika tercermin sebagai nilai yang diharapkan dari probabilitas suatu peristiwa (expected value of event). Cara mengukurnya ditunjukkan contoh seperti ini. Peluang terjadinya keterlambatan delivery misalnya 10%, sementara biaya delivery Rp20 juta, maka expected value of a delay = 0,1 × Rp20.000.000 = Rp2.000.000.

Kita dapat mengelompokkan probabilitas peristiwa menjadi:

Risiko perlu segera direspon. Ada beberapa cara untuk merespons risiko (Waters, 2007):

  1. mengabaikan atau menerima terjadinya risikonya;
  2. mengurangi probabilitas peristiwa berisiko;
  3. mengurangi atau membatasi konsekuensi risiko;
  4. memindahkan, berbagi, atau membelokkan risiko;
  5. menyiapkan rencana cadangan;
  6. beradaptasi dengan risiko;
  7. menolak peristiwa yang menyebabkan risiko;
  8. pindah ke kondisi atau cara yang sama sekali baru.

Ilustrasi sederhana berikut sangat mudah untuk menggambarkan respons risiko dari berbagai alternatif. Anda ingin menyebrang jalan pada saat jalan raya sangat sibuk. Apa yang akan anda lakukan? Anda perlu mengidentifikasi risiko utama bila menyebrang: kemungkinan anda akan tertabrak mobil. Sangat berisiko bukan? Untuk merespons risiko tertabrak mobil, anda dapat melakukan:

  1. mengabaikan atau menerima apa adanya terjadinya risiko, dengan menutup kedua mata anda, lalu anda menyeberang. Saran saya, jangan pernah dicoba;
  2. mengurangi peluang terjadinya risiko tertabrak, dengan cara bergerak secara perlahan, atau anda bersabar untuk menyeberang ketika jalanan sudah tidak lagi ramai kendaraan;
  3. mengurangi atau membatasi konsekuensi risiko. Dengan cara apa? Tentu anda bisa menggunakan pakaian alat pelindung diri untuk memastikan anda “tidak apa-apa” bila tertabrak mobil;
  4. memindahkan, berbagi, atau bahkan membelokkan risiko. Supaya anda aman, anda bisa mengajak seseorang untuk bersama menyeberang jalan;
  5. menyiapkan rencana cadangan. Ini mungkin agak berlebihan. Tapi cara ini akan mengurangi dampak risiko bila anda tertabrak mobil. Sebelum anda menyeberang, anda perlu menelpon layanan ambulan darurat, untuk memastikan anda segera tertolong bila terjadi kecelakaan;
  6. beradaptasi dengan risiko. Anda perlu berlatih dan membiasakan menghindari tertabrak mobil agar anda lebih gesit untuk menghindari tertabrak mobil;
  7. menolak peristiwa yang menyebabkan risiko. Anda mengajak untuk kampanye melarang menyeberang pejalan kaki di jalan raya;
  8. pindah ke kondisi atau cara yang sama sekali baru. Bila anda tetap tidak mau berisiko, anda tidak perlu menyebrang jalan atau anda gunakan jembatan penyeberangan.

Bagaimana penerapan respons atau pencegahan terjadinya risiko di manajemen supply chain? Waters (2007) memberikan cara atau inisiatif strategik yang dapat anda lakukan untuk merespons risiko supply chain, antara lain:

  • selalu melakukan perbaikan atau penyesuaian desain supply chain dengan perkembangan lingkungan organisasi;
  • mengurangi variabilitas, menjaga stok yang cukup, menambah kapasitas;
  • meningkatkan fleksibilitas dan kegesitan;
  • memperbaiki perencanaan dan peramalan permintaan;
  • meningkatkan kolaborasi;
  • penilaian vendor;
  • memproduksi produk sesuai pesanan (make to order);
  • mempertimbangkan keputusan “make-or-buy”;
  • menyederhanakan rentang variasi produk, keputusan outsourcing atau kontrak 3PL, dan
  • penggunaan asuransi.

***

Logistik dan supply chain merupakan aktivitas yang sangat kompleks. Banyak melibatkan berbagai pihak, karenanya sangat rentan terhadap risiko.

Risiko perlu dikelola. Peristiwa yang akan terjadi di masa depan tidak ada yang pernah tahu pasti. Dampak kerugian dari peristiwa perlu dimitigasi. Pengelolaan risiko, setidaknya mencakup identifikasi risiko, pengendalian risiko, dan respons terhadap risiko.

Pemahaman yang baik mengenai manajemen risiko, sangat diperlukan untuk pengelolaan risiko logistik dan supply chain. Para manajer perlu membiasakan “bersahabat” dan bekerja dengan risiko.

Referensi:

  • Manners-Bell, John., Supply chain Risk: Understanding Emerging Threats to Global Supply chains, KoganPage, 2014
  • Waters, Donald., Supply chain Risk Management: Vulnerability and Resilience in Logistics, KoganPage, 2007

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *